28/02/09

♥ Cinta di hari tua



Cinta di Hari Tua
5 Mar 07 06:52 WIB

Oleh Sakti Wibowo

Saat itu saya dalam perjalanan pulang kampung. Karena trayek bis hanya
sampai kota Ngadirojo, sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilo dari
tempat tinggal saya, saya harus nyambung angkutan lokal dari Ngadirojo ke
Baturetno.

Matahari belum sempurna terbit saat saya memutuskan memilih sebuah
minibus, berbaur dengan para pedagang kerupuk, serabi, tempe, bahkan
kambing dan ayam. Untuk kambing, jelas tempatnya terpisah, ditempatkan di
bagasi. Sementara, beberapa keranjang berisi ayam yang tak berhenti
berkeciap berikut bau kotorannya yang memengapkan ruangan minibus, tumpang
tindih dengan kardus-kardus berisi kerupuk dan makanan ringan lainnya,
menjejali pintu utama.



Setelah minibus berjalan sekitar lima belas menit, dua orang penumpang
naik. Seorang nenek tua yang terlihat sedang sakit, berjalan dengan
menggunakan tongkat bambu wulung yang dipotong seadanya. Melihat warna
mengilap di bagian pegangan tongkat, saya menyimpulkan bahwa tongkat itu
telah cukup lama dipakai sehingga meninggalkan bekas yang khas. Seorang
kakek di belakangnya. Tak kalah renta. Saya menaksir usianya sekitar awal
delapan puluhan.



Minibus penuh sesak. Tak ada bangku kosong. Sang nenek tertatih-tatih saat
menaiki minibus. Bahkan, sang kondektur harus mengangkatnya dengan susah
payah, sementara si kakek menyusul di belakangnya, membantu sang kondektur
kendati saya yakin, bantuan tenaga si kakek tidak berpengaruh apa-apa,
malah mungkin justru merepotkan. Saya tawarkan tempat duduk saya kepada si
nenek, namun ia ragu-ragu. Hanya senyuman saya merasa senyum ini begitu
sedap dan ikhlas yang dihadiahkannya. Saya mencoba meyakinkannya. Silakan,
Mbah! Saya nggak apa-apa, kok, berdiri.

Masih dengan ragu-ragu, si nenek kemudian bercerita bahwa ia hendak
periksa ke Dokter ,seorang dokter yang cukup terkenal di Baturetno.
Ketika sekali lagi saya menawarkan bangku dengan bergegas berdiri, ia
menatap kedua kakinya yang terlihat kaku. Saya tidak bisa duduk, katanya.
Boleh untuk si Mbah saja? ia menunjuk sang kakek.

Tentu saja, saya mengangguk, mempersilakan duduk sang kakek. Dan, setelah
itu, yang saya lihat adalah hal yang sungguh dramatis. Sang nenek, karena
kedua kakinya tidak bisa ditekuk, ternyata memang benar tidak bisa duduk
dengan wajar. Suaminyalah yang duduk, dan setengah memangku isterinya itu
dengan penuh kasih. Sebelah tangan renta keriputnya yang tak bisa
menyembunyikan gemetar berpegangan pada sandaran bangku, sedangkan sebelah
lagi melingkar di tubuh renta
isterinya. Sedangkan sang nenek, berpegangan pada pundak lelakinya.

Saya tak tahu pasti apa yang lintas dalam pikiran masing-masing. Yang saya
lihat hanyalah ?kesempurnaan cinta seorang manusia.
Saya begitu terharu dan merasa tak akan mampu menaksir kedalaman cinta
keduanya. Cinta yang bertahan hingga di usia senja. Saya hanya sanggup
mereka-reka dialog seperti apa yang layak untuk adegan semenakjubkan ini.
Begini: Si lelaki, dengan bahu kokoh dan lengannya yang perkasa,
menawarkan rasa aman kepada isterinya. Tenanglah, Sayang, tidak akan ada
hal buruk yang akan terjadi. Kau akan aman berada di sampingku.

Sementara si wanita, dengan kepasrahan seorang isteri, menyandarkan
kepalanya di dada bidang itu, Bawalah aku ke mana kau pergi, Kekasih!
Sebab aku tahu, kaulah waliku di akhirat nanti. bawalah, dan aku akan
serta. Tak peduli sakit ini. Tak usah khawatir, sebab aku tak
mengeluhkannya.
Bukankah kita hanya semata berusaha mencari kesembuhan-Nya...

* *
Saya masih melihat dan tak ingin melewatkannya saat sang kakek menuntun
isterinya menyeberang jalan. Ya, sementara banyak pasangan yang cintanya
meredup saat memasuki usia kepala lima, atau malah jauh sebelumnya. Saya
teringat bagaimana banyak pasangan, di hari tuanya memilih hidup terpisah.
Bukan bercerai. Sang ibu mengikut tinggal di rumah anaknya, sedang si
kakek di rumah anaknya yang lain. Kalaupun ada yang lebih harmonis dari
itu, tetap saja saya akan begitu sulit mendapatkan sepasang kakek-nenek
membahasakan cinta dengan begitu romantis. Sayang, saya lupa tidak
menanyakan nama keduanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar